Sentra Penjualan Karya Seni Batik di Jambi
Siang itu, pertengahan Juli yang lalu, Kawasan Simpang Pulai, Kota Jambi, cukup ramai dengan kendaraan yang berlalu lalang di depan deretan pertokoan. Di dalam salah satu toko tampak deretan rak yang memajang puluhan kain batik warna warni. Tak kurang dari 10 pengunjung memadati ruangan berukuran sekitar 5 x 8 meter.
Pramuniaga
dari toko batik yang bermerek Rizky, cukup kewalahan melayani pembeli.
Setiap pengunjung yang datang setidaknya membeli lebih dari satu potong
kain batik. Meskipun Toko Batik Rizky juga menjual kain tenun songket
Jambi, namun siang itu batik tampak lebih didominasi pengunjung.
Simpang
pulai merupakan sentra penjualan batik jambi di Kota Jambi. Awalanya,
tahun 2003 di kawasan ini hanya terdapat satu-dua toko yang menjual
batik khas Jambi. Kini belasan toko telah berdiri dan menawarkan beragam
kain batik, baik batik tulis, cap maupun kombinasi tulis dan cap.
Kawasan ini telah menjadi salah satu tujuan membeli oleh-oleh khas
Jambi.
Hidupnya
pasar batik jambi ditandai oleh kemunculan usaha perbatikan yang
tersebar di sejumlah kabupaten di Tanah Angso Duo ini. Data Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jambi memperlihatkan, hingga
pertengahan tahun 2016 ini terdapat 238 perajin batik yang tersebar di
sembilan kabupaten/kota. Dari jumlah tersebut, sebanyak 121 perajin
berada di kota Jambi. Sisanya tersebar di Kota Sungai Penuh, Kabupaten
Tebo Tanjung Jabung Timur, Sarolangun. Merangin, Kerinci, Bungo dan
Batanghari.
Menilik
Produksi usaha perbatikan di Jambi. Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Provinsi Jambi mencatat nilainya mencapai Rp. 127,767 miliar pada
pertengahan 2016 ini. Nilai investasinya bahkan mencapai Rp. 3,1
triliun. Usaha perbatikan di Jambi tersebut berhasil menyerap 1.437
tenaga kerja, mulai dari pebatik hingga karyawan bagian ekspedisi,
administrasi, dan pramuniaga.
Bangkitnya Batik Jambi
Kebangkitan
batik Jambi tak bisa dilepaskan dari peran pemerintah lokal, baik
provinsi maupun kabupaten kota. Batik Jambi mendapat perhatian saat
pemerintahan Gubernur Abdurrahman Sayoeti pada 1989-1999. Melalui
istrinya, Lily Abdurrahman Sayoeti, yang saat itu menjabat Ketua Dewan.
Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Jambi, Menggalakkan kembali
pemakaian kain batik jambi dalam pentas-pentas tari.
Lily
Sayoeti juga mendirikan Yayasan Bina Lestari Budaya yang bersalin rupa
menjadi Sanggar Kerajinan Selaras Pinang Masak yang menampung perajin
batik Provinsi Jambi. Dari sinilah pembinaan dan pendapingan dilakukan
untuk sejumlah pengrajin batik. Tak hanya itu, pada medio November 1996,
Jambi menggelar simposium internasional tekstil yang dihadiri oleh 116
negara. Peristiwa Internasional ini membukakan mata masyarakat Jambi
tentang kekayaan budaya lokal, khususnya motif-motif batik Jambi.
Sejak
saat itu, batik jambi kembali mendapat tempat di hati masyarakat Jambi
dan perajin kain batik jambi bermunculan bak jamur pada musim hujan.
Sentra perajin batik Jambi berlokasi di sejumlah kecamatan di seberang
Sungai Batanghari, atau lebih dikenal dengan kawasan Jambi Seberang.
Fokus
untuk membangkitkan batik Jambi dilanjutkan pada masa pemerintahan
Gubernur Zulkifli Nurdin periode 1999 - 2004 dan 2005 - 2010. Di tangan
istrinya, Ratu Munawaroh, tengkuluk atau penutup kepala tradisional khas
Jambi yang menggunakan kain batik sebagai kain bawahan atau sarung.
Hingga
kini dukungan pemerintah provinsi terhadap batik jambi tak kecil.
Kerjasama antara Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag),
koperasi, Dekranasda, dengan BUMN semuanya bahu membahu untuk memajukan
usaha untuk memajukan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di Jambi,
termasuk UMKM batik.
Bentuk
dukungan berupa pelatihan, promosi, hingga pinjaman kredit dengan
syarat mudah disediakan bagi mereka yang memenuhi syarat. "Perajin bisa
saja dapat pinjaman hingga ratusan juta. Syaratnya hanya satu, jujur,"
kata Ida Maryanti, penyuluh perindustrian Disperindag, Provinsi Jambi.
Membatik Untuk Merawat Tradisi
Tradisi
Meskipun
saat ini kemunculan tekstil bermotif batik dinilai cukup mengganggu,
sejumlah pengusaha batik jambi tetap setia memproduksi batik tulis, cap
maupun kombinasi tulis dan cap. Seperti Ratu Hasnah (6), pemilik batik
Melati Putih, tidak bergerak menggeluti tekstil bermotif batik. "Batik
printing (Tekstil bermotif batik) itu secara budaya sudah merusak batik
Jambi," ujar Hasnah.
Ia
tidak tergerak membuat tekstil bermotif batik meskipun ongkos
produksinya lebih murah."Batik jambi adalah bagian dari kehidupan kami,"
kata Hasnah. Ia telah membuat batik sejak tahun 1987 dengan bermodalkan
Rp. 20.000 untuk membeli lima kain putih. Kini omzet usahanya berkisar
Rp. 3 juta - Rp. 10 juta sehari. Semua anggota keluarganyapun saat ini
menggeluti batik sebagai mata pencarian.
Membatik
sebagai panggilan hati juga dilakukan Zainul (55), pegiat batik. Ketika
gelaran Simposium Tekstil Internasional tahun 1996, dirinya ditantang
untuk membuat kembali kain batik dengan pewarnaan dan motif kuno.
Padahal, pewarnaan batik kuno menggunakan bahan-bahan alami yang sudah
sulit ditemui.
Namun,
tekadnya untuk melestarikan batik Jambi, termasuk teknik pewarnaan dari
alam. Hingga kini, meski pernah vakum karena musibah kebakaran sempat
membuatnya trauma, Zainul tetap mendedikasikan diri sebagai pelestari
motif batik jaman kuno. Baginya, membatik tidak sekadar mencari
penghasilan, tetapi lebih sebagai pengabdian kepada tradisi batik jambi.
"Saya
membantik tergantung mood," ujar Zainul. Ia tidak memiliki target
produksi tertentu. Zainul lebih suka membatik saat menemukan motif lawas
yang perlu dibuat replikasinya. Atau saat menemukan pewarna alami baru
yang bisa digunakan untuk produksi batiknya. Karena unik, biasanya
langsung terjual ke tangan kolektor.
Meski
masih mengandalkan bahan baku dari Pulau Jawa, komoditas batik Jambi
bisa bertahan hingga kini karena terdapat individu-individu yang tetap
setia memproduksinya. Kombinasi sebagai komoditas ekonomi dan keinginan
menjaga tradisi menjadikan batik jambi tetap bertahan, bahkan berpotensi
terus berkembang.
Besurek
Di
wilayah pesisir barat Sumatera, geliat kain besurek Bengkulu tak
sedinamis batik Jambi. Kain besurek (bersurat) dulu lebih banyak
digunakan sebagai perlengkapan upacara adat, seperti perkawinan,
kelahiran, dan kematian." Awalnya kain besurek dibuat secara terbatas
untuk keluarga oleh perempuan Bengkulu," kata Muhardi, Kepala Seksi
Koleksi Konservasi dan Preparasi Museum Negeri Bengkulu.
Dalam
perkembangannya, kain besurek juga dikenakan sebagai pakaian
sehari-hari dengan motif yang semakin beragam. Momen popularitas kain
besurek terjadi pada periode Gubernur Razie Yahya tahun 1989-1994.
Gubernur mendorong penggunaan kain besurek di setiap instansi
pemerintah, mulai dari BUMD, acara-acara seperti syukuran kemerdekaan
RI, di sekolah-sekolah, jemaah haji, hingga kontingen olahraga. Namun,
upaya itu belum membuahkan hasil maksimal.
Motif
batik besurek kurang mampu menarik minat masyarakat memajukan usaha
ini. Data Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan Provinsi
Bengkulu memperlihatkan saat ini jumlah perajin batik besurek di
Bengkulu tak lebih dari 10 orang. Jumlah ini tersebar di beberapa
kelurahan di Kota Bengkulu. Nilai produksi hingga pertengahan 2016 hanya
Rp. 269 Juta.
Salah satu faktor yang menghalangi perkembangan kain besurek adalah sulitnya menyediakan tenaga kerja.